Sihir dalam Dunia Dongeng

Sihir dalam Dunia Dongeng

Dalam dongeng, umumnya para penyihir digambarkan dengan selalu memakai topi hitam yang kelihatan konyol dan jubah hitam, dan mereka naik sapu.

Sihir dalam Dunia Dongeng

Gambaran cerita-cerita fiksi tentang penyihir memang bervariasi, sekalipun ada beberapa ciri khas atau atribut yang serupa. Umumnya mereka dicitrakan jahat. Tapi di cerita komik Donald Bebek rekaan Disney, misalnya, selain Mimi Hitam (Magica De Spell) yang selalu berniat mencuri Keping Keberuntungan (Number One Dime) milik Paman Gober (Uncle Scrooge atau Scrooge McDuck), ada juga Madam Mikmak (Mad Madame Mim) yang kadang-kadang jahat tapi lebih sering kikuk dan serba salah serta Hortensia (Witch Hazel) yang memang penyihir baik hati.

Perbedaan itu tidak mengherankan, karena dalam sejarahnya konsep yang berkaitan dengan dunia magis, agama, roh jahat, dan ritual berbeda-beda dalam setiap kultur. Dari istilahnya, sihir (dan penyihir) kadang-kadang digunakan untuk merujuk, secara luas, praktek magis, dan punya konotasi yang mirip dengan teluh — kegiatan mempengaruhi peristiwa dan fenoma fisik melalui cara-cara supranatural, mistik, atau paranormal. Tergantung nilai-nilai masyarakatnya, sihir dalam arti ini mungkin dipandang dengan derajat kecurigaan dan permusuhan yang beragam, atau malah mendua, tidak jahat tidak juga baik.

Penggunaan lain istilah sihir adalah, secara sempit, untuk merujuk praktek magis dalam arti benar-benar jahat. Jika masyarakat secara umum menerima praktek magis, pasti ada pemisahan yang jelas antara penyihir (dalam pengertian ini) dan istilah untuk menggambarkan pelaku praktek magis yang sah. Istilah ini kebanyakan digunakan untuk menuduh orang yang dicurigai melakukan kegiatan yang membahayakan masyarakat lewat cara-cara supranatural. Kepercayaan terhadap penyihir seperti ini lazim di kalangan penduduk-penduduk asli di dunia, termasuk Afrika dan Asia.

Tak kalah pentingnya adalah pandangan agama-agama monoteistik (Yahudi, kristen, Islam) tentang sihir, yang selalu menghubungkannya dengan klenik. Pada periode akhir Zaman Pertengahan/awal Zaman Modern sihir luas ditafsirkan sebagai bentuk pemujaan terhadap setan. Di Zaman Modern pandangan seperti ini berlanjut, sekalipun di sisi lain mulai muncul konotasi positif khususnya di kalangan Wiccan — agama yang didirikan oleh Gerald Gardner, seorang warga Inggris, pada 1940-an — dan penganut neo-paganisme.

Perbedaan karakterisasi dalam dongeng atau fiksi bukan hanya timbul karena kenyataan itu. Bermula dari cerita-cerita rakyat, dongeng atau fiksi atau genre fantasi pada umumnya bahkan menggambarkan pula adanya penyihir yang tidak jahat, yang biasa disebut wizard (dari wise, bijak).

Pada abad ke-16 di Inggris, mereka itu dicitrakan sebagai ahli magis laki-laki yang selalu ringan tangan, pria cerdik yang senantiasa menolong. Pengarang-pengarang pada Zaman Modern menggunakannya untuk membedakan wizard dengan penyihir.

Dalam Dungeons & Dragons, sebuah role-playing game terkenal, malah dibuat definisi yang jelas bahwa penyihir “menciptakan magis sebagaimana penyair melahirkan puisi, dengan bakat bawaan yang diasah lewat praktek”, sedangkan wizard “tergantung (bagaimana) belajar mendalamnya untuk menciptakan magis… Bagi seorang wizard, magis bukanlah bakat tapi seni yang sengaja dipelajari”.

Steve Pemberton melukiskan perbedaan itu dalam The Times & Life of Lucifer Jones dengan perumpaan ini: “Perbedaan antara wizard dan penyihir bisa dibandingkan dengan perbedaan antara, katakanlah, seekor singa dan seekor macan, tapi wizard sangat sadar status, dan bagi mereka lebih merupakan perbedaan antara seekor singa dan seekor kucing mati.”

Akar sejarah wizard adalah shaman, dukun — figur yang ada di setiap tempat di dunia. Mereka ini orang-orang yang berkemampuan mendiagnosa, menyembuhkan, dan kadang-kadang menyebabkan orang lain menderita dengan cara melintasi axis mundi, pusat dunia, dan membentuk hubungan spesial dengan, atau mendapatkan kontrol atas, roh. Dalam dongeng-dongeng dan mitos lama di Eropa, wizard yang paling dikenal di antaranya adalah Merlin.

Muncul dalam legenda tentang Arthur, seorang yang digambarkan sebagai raja ideal, Merlin mula-mula diperkenalkan oleh Geoffrey dari Monmouth, ahli “sejarah” Zaman Kegelapan. Dalam tiga cerita Geoffrey, Merlin dilukiskan sebagai orang yang membantu, dengan kemampuan magisnya, mengubah wujud Uther Pendragon sehingga bisa menyusup ke Desa Tintagel dan kemudian menjadi ayah Arthur. Penyair Prancis dari abad ke-13 Robert de Boron menuturkan kembali cerita Geoffrey dengan tambahan dan perubahan di sana-sini, termasuk kedudukan Merlin sebagai penasihat Arthur. Dari sinilah versi yang lazim dikenal saat ini bermula.

Ketika cerita-cerita fiksi kategori fantasi mulai berkembang pesat, wizard pun muncul sebagai karakter penting. Dalam trilogi The Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien bahkan Gandalf, Saruman, dan Radagast memperoleh sebutan wizard, walau sesungguhnya mereka adalah entitas supranatural; sebab yang berlaku dalam legenda Middle-earth, dunia rekaan Tolkien, wizard adalah istilah yang hanya berlaku bagi lima anggota Ordo Istari (Para Bijak), bukan untuk manusia, karena manusia yang menggunakan kekuatan magis cukup disebut sebagai penyihir.

Serial petualangan Harry Potter karya J.K. Rowling tergolong keluar dari pola yang mengkontraskan wizard dengan witch dan sorcerer (penyihir). Sejak buku pertama berjudul Harry Potter and the Sorcerer’s Stone, Rowling menggunakan wizard untuk menyebut semua penyihir pria dan witch untuk penyihir perempuan. Ada tambahan kata dark untuk menyebut penyihir yang menyebarkan dan membela kejahatan seperti Voldemort.

Namun pemisahan antara penyihir “hitam” dan penyihir “putih”, sihir jahat dan sihir baik, khususnya setelah buku Potter meledak di pasar dan mempesona jutaan anak-anak dan remaja pembacanya di seluruh dunia, membangkitkan lagi tantangan dari sebagian kalangan Kristiani.

Pandangan yang keras, misalnya seperti ditulis di sebuah situs di Internet oleh seseorang bernama Berit Kjos, menyebut buku-buku Potter sebagai “berbahaya karena sepuluh kali lebih terang-terangan tentang keajaiban dan kegemilangan sihir dan magis; sudah begitu buku-buku itu tak memuat gagasan atau analogi Kristiani seperti buku anak-anak masa lalu”.

Di beberapa tempat bahkan sampai diselenggarakan upacara pembakaran buku-buku Potter. Di Gereja Masyarakat Kristus di Alamogordo, New Mexico, Amerika Serikat, misalnya, pembakaran berlangsung atas undangan pastor Jack D. Brock pada 30 Desember 2001.

Brock menganggap buku-buku Potter sebagai “contoh kian disibukkannya masyarakat kita dengan klenik”. Katanya, dalam sebuah misa sepekan sebelumnya, “Buku-buku Potter menyajikan sihir sebagai praktek yang secara umum positif, sementara Alkitab jelas mengutuk semua praktek klenik.”

Seperti memperoleh kesempatan untuk melampiaskan kekesalan, para penentang juga menuding Tolkien (The Lord of the Rings) dan Lewis (The Chronicles of Narnia) ikut menanam benih yang menimbulkan kebangkitan pemujaan terhadap sihir pada masa kini. Mereka memang memuji kedua penulis yang kebetulan bersahabat ini.

Mereka mengakui buku-buku Tolkien dan Lewis mengandung pandangan dan nilai Kristiani yang dalam. Tapi mereka menilai keduanya “terlalu naif dalam memperlakukan agenda setan”. Karenanya, mereka berpendapat buku-buku Tolkien dan Lewis layak dilempar ke tempat sampah.

Rowling, juga Tolkien dan Lewis, tidak di pojok sendirian. Ada kalangan yang melihat sebaliknya dan karenanya memberikan dukungan. John Granger, penulis buku Looking Good in Harry Potter, misalnya. Menurut dia, buku-buku kisah Potter begitu memikat justru karena adanya muatan Kristiani di dalamnya. Orang-orang, katanya, merespons simbol-simbol Kristiani yang ada. “Hati setiap orang dirancang untuk pesan-pesan itu.”

Granger, yang mulanya sependapat dengan para penentang tapi lalu berubah setelah membacakan Harry Potter and the Sorcerer’s Stone untuk anaknya, melihat Rowling sama cerdiknya dengan Tolkien dan Lewis. Rowling, katanya, juga menyelundupkan tema dan simbol Kristiani dalam cerita fantasi.

Lewat esai panjangnya berjudul Harry Potter vs. Gandalf, Steven D. Greydanus berpendapat, daya pikat magis dewasa ini tetap mengandung ancaman, khususnya buat anak-anak yang rentan — sekalipun khayalan Rowling tentang sapu terbang dan tongkat sihir berbeda benar dengan penggambaran tentang dunia sihir pada umumnya.

Mengambil contoh Potter, penulis kritik film yang produktif ini mengemukakan bahwa bahayanya, jika ada, bisa sama besarnya dengan ibu tiri Cinderella. Dalam kasus begini, menurut dia, tak seorang pun bisa memberikan penilaian yang tepat kecuali orang tua anak yang bersangkutan. Merekalah, katanya, yang bisa bertindak apakah sesuatu buku berguna atau tidak untuk anaknya.

 

Sihir dalam Dunia Dongeng

You May Also Like

About the Author: Literasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *