Separatisme dan Pemisahan Wilayah dalam Pandangan Hukum Internasional

Separatisme dan Pemisahan Wilayah

Hukum internasional tidak menghukum adanya pemberontakan. Kejadian-kejadian dalam suatu negara, termasuk di dalamnya pemberontakan dari kaum separatis merupakan urusan intern negara yang bersangkutan. Hukum yang berlaku terhadap peristiwa pemberontakan tersebut adalah hukum nasional negara yang bersangkutan.

Hukum internasional melarang negara lain untuk tidak melakukan intervensi tanpa persetujuan negara tersebut. Negara-negara lain berkewajiban menghormati kedaulatan negara yang bersangkutan termasuk menghormati hak negara tersebut menerapkan hukum nasionalnya terhadap peristiwa pemberontakan itu.

Namun demikian apabila pemberontakan dalam suatu negara telah mengambil porsi sedemikian rupa, sehingga negara-negara lain tidak mungkin lagi menutup mata terhadap kejadian tersebut, terpaksa negara-negara lain dengan sesuatu cara menunjukkan perhatian mereka dengan Pengakuan (recognition of insurgency) dan bukan dengan penghukuman.

Meskipun pemberian pengakuan sebagai pemberontak tidak memberikan status hukum yang tegas terhadap mereka, namun diharapkan dengan pengakuan tersebut pemerintah pusat akan memperlakukan mereka sesuai dengan tuntutan perikemanusiaan.

Kaum pemberontak seharusnya tidak diperlakukan seperti penjahat-penjahat kriminal. Untuk mencegah kesalahpahaman, perlu ditekankan bahwa pemberian pengakuan terhadap kaum pemberontak tidak berarti bahwa negara yang memberi pengakuan berpihak pada kaum pemberontak tersebut.

Pemberian pengakuan ini bukan hanya menuntut perlakuan berdasarkan tuntutan perikemanusiaan bagi kaum pemberontak yang tertawan tetapi juga meletakkan kewajiban pada negara yang memberikan pengakuan itu untuk mengambil sikap netral dalam pertempuran-pertempuran yang sedang berlangsung antara kaum pemberontak dengan pemerintah yang sah.

Bilamana pemberontakan tidak segera dapat dipadamkan oleh pemerintah pusat, dan kaum pemberontak telah bertambah kuat kedudukannya, mampu menguasai secara de facto suatu wilayah yang cukup luas, telah mempunyai pemerintahan sendiri, maka dalam literatur hukum internasional dikenal adanya pengakuan terhadap belligerent. Walaupun penerapannya tidak mudah karena faktor-faktor politik lebih dominan daripada kriteria obyektifnya.

Pada umumnya ada 4 unsur yang harus dipenuhi kaum pem berontak untuk mendapat pengakuan sebagai belligerent, yaitu:

  1. terorganisir secara rapi dan teratur di bawah kepemimpinan yang jelas
  2. harus menggunakan tanda pengenal yang jelas yang menunjukkan identitasnya
  3. harus sudah menguasai secara, efektif sebagian wilayah sehingga wilayah tersebut benar-benar telah di bawah kekuasaannya
  4. harus mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya

Dalam praktek sulit untuk menemukan kelompok pemberontak yang mendapat pengakuan sebagai belligerent, mengingat pemberian pengakuan sebagai belligerent oleh suatu negara sangat potensial merusak hubungan baik negara yang memberi pengakuan dengan pemerintah yang sah, karena dapat dianggap mencampuri urusan dalam negeri negara tersebut dengan berpihak pada kelompok pemberontak.

Lebih penting dari masalah pengakuan yang sarat dengan muatan politisnya, hukum internasional melalui Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 mengatur mengenai pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional.

Pasal ini menegaskan bahwa dalam hal terjadi pertikaian bersenjata yang tidak bersifat Internasional (armed conflict not of an international charcatei) yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak agung penandatangan, tiap pihak yang bertikai harus memperhatikan aturan-aturan tentang kemanusiaan, antara lain larangan:

  1. tindakan kekerasan atas jiwa dan raga
  2. penyanderaan
  3. perkosaan atas kehormatan pribadi
  4. menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur

Konvensi Jenewa 1949 sebagaimana dikemukakan diatas diatur lebih lanjut dalam Protokoi Tambahan 1977 bagian ke 11. Protokol ini dengan tegas menyatakan dapat diterapkan …to conflict which take place in the territory of a high contracting parties, but between its armed forces and dissident armed forces or other organized group.

Protokol juga menyebutkan bahwa angkatan bersenjata pemberontak harus memiliki suatu komando yang bertanggung jawab (responsible command). Syarat lain adalah bahwa pemberontak harus dapat melaksanakan pengawasan atas sebagian wilayah, mampu melakukan operasi-operasi militer secara berkelanjutan dan bersama-sama (as to enable them to carry out sustained and concerted military operations),dan mampu melaksanakan ketentuan Protokol.

 

Separatisme dan Pemisahan Wilayah dalam Pandangan Hukum Internasional

You May Also Like

About the Author: Literasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *